Kamis, 20 Februari 2014

Generasi Digital

Sekilas akan terpikir, susahnya menjadi generasi digital. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengann generasi digital, kurang lebih yakni generasi yang terlahir di era digital range pada tahun 2000 atau yang kita kenal dengan istilah tahun milineum. Sedang selain itu termasuk imigran digital. Meski pada dasarnya tidak ada penerjemahan yang baku tentang generasi digital ini. Untuk pengklasifikasian saja akan kecenderungan generasi masa itu dengan gejala dan kemiripan serba-serbi elektrik-digital.
            Pada dasarnya kita tidak bisa menyalahkan digitalnya. Karena peran digital dipengaruhi oleh manusia yang menamfaatkannya. Digital bisa menjadi bermanfaat, namun bisa juga sebaliknya bermasalah menjadi penyakit masyarakat. Sekali lagi tergantung juga pada pelaku aktif yang menggunakannya. Semisal digital akan sangat bermanfaat tatkala digunakan untuk pertukaran informasi yang penting tentang antariksa, astronomi, sebagai penunjang alat kesehatan, komunikasi bisnis, dan seterusnya. Akan beda lagi jika digital dimanfaatkan untuk sebatas bergaya, semisal medsos digunakan untuk update status atau perasaan. Ternyata hanya untuk mendapat komentar ejiyee, eeaaa. Update photo demi mendapat respon, selamat yaa atau semangat cint. Kemudian hanya berbangga-bangga dengan gadget baru, bergaya kesini-kesitu.
            Nah itu lah yang membuat menyempitnya manfaat digital dalam hidup kita. Tatkala hidup hanya untuk menunggu respon orang lain, mencari perhatian orang lain, pujian orang lain, menimpali yang seolah-olah mencemooh kita, apalagi agar aktivitas kita dilihat oleh orang lain. Sehingga terasa hidup kita hanya bergantung kepada orang lain. Bukankah itu sangat menyiksa kita, membuat tidak berkembang, sulit berkreasi dan produktif. Ada kutipan dari kak Theo tentang generasi digital yang diartikan sebagai generasi pamer. Ya jika orientasinya seperti di atas saja, ya pantas saja jika generasi digital disebut dengan generasi pamer. Mengupdate setiap aktivitasnya untuk mendapat komentar orang. Padahal hidup bukan untuk mencari dan membuat komentar. Tulisan kak Theo: Generasi Digital Adalah Generasi Pamer, juga menenkan bahwa orang-orang “keren” tidak pernah berupaya dengan keras untuk “berteriak” kepada dunia bahwa ia sudah melakukan sesuatu.  Orang “keren” yang sebenar-benarnya “keren” tidak perlu pamer.
            Sedangkan dalam TAKITA dijelaskan generasi digital memiliki ciri-ciri yakni, pertama Kebebasan, Menolak Terkekang. Generasi Digital Native hidup dalam kebebasan digital. Dalam kehidupan nyata, mereka pun cenderung menuntut rentang kebebasan yang lebih. Ketika sekolah dan rumah dikuasai oleh orang dewasa, generasi digital native memilih berinteraksi di media sosial sebagai ruang-ruang baru yang mereka kuasai.
            Kedua, Bermain, Bukan Hanya Bekerja. Anak-anak generasi digital native menjalani hidup dengan semangat bermain. Tidak ada kesulitan, yang ada adalah tantangan yang ingin mereka atasi untuk menyelesaikan permainan. Dalam bekerja pun, mereka tetap menggunakan logika bermain sehingga cenderung menolak pekerjaan rutin yang tanpa makna.
            Ketiga, Ekspresif, Tidak Hanya Reseptif. Generasi digital native senang mengekspresikan diri. Dalam dunia digital, mereka bisa hadir dan diakui sebagai individu. Hampir semua hal kesukaan diekspresikan melalui media sosial. Mereka enggan melakukan perjumpaan yang menempatkan mereka hanya sebagai reseptif, menerima mentah-mentah ekspresi dari generasi sebelumnya.
            Keempat, Cepat, Enggan Menunggu. Sebagai dunia digital yang ukurannya adalah kecepatan, generasi digital native pun ingin menjalani kehidupan dengan cepat. Ketika ada keadaan yang memaksa mereka untuk menunggu maka akan beralih pada kegiatan lain seperti mendengarkan musik, bermain games dan lainnya.
            Kelima, Mencari, Bukan Menunggu Instruksi. Mereka tidak suka diajari. Mereka lebih memilih belajar dengan mencari sendiri konten di dunia digital. Mereka gunakan mesin pencari. Mereka cari video tutorial di youtube dan belajar sendiri.
            Keenam, Unggah, Bukan Hanya Unduh. Perkembangan teknologi web 2.0 memungkinkan siapapun buat mengunggah konten. Dampaknya, generasi digital native bukan hanya mengungguh tapi juga mengunggah konten. Mereka merasa tidak eksis bila tidak mengunggah konten di internet.
            Ketujuh, Interaktif, Bukan Hanya Komunikasi Searah. Mereka cenderung menolak komunikasi searah dalam bentuk apapun, offline maupun online. Mereka senang bila bisa mengkustomisasi sebuah konten sesuai dengan selera mereka.
            Kedelapan, Berkolaborasi, Tak Hanya Berkompetisi. Dunia digital mendorong orang untuk berbagi dan berkolaborasi. Sebuah karya bisa diciptaulang oleh banyak orang sesuai kreativitas masing-masing. Begitu pula karakter generasi digital native yang suka berkontribusi sesuai kemampuan dalam sebuah aktivitas bersama.
            Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bersama, era digital tidak bisa kita hindari. Kita tidak bisa lari dari kenyataan yang terjadi dan yang berkembang di sekitar hidup kita. Yang perlu kita lakukan adalah bijak dalam menggunakan dan memanfaatkan digital. Sehingga mampu bersesuaian dan memanfaatkan digital sesuai peran dan fungsinya. Kita hidup bukan untuk menghidupi digital, namun digital untuk membantu aktivitas kehidupan kita. Mari lebih bijaksana dalam menggunakan digital-elektronik.

Sumber:
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar