Sekilas
akan terpikir, susahnya menjadi generasi digital. Apakah sebenarnya yang
dimaksud dengann generasi digital, kurang lebih yakni generasi yang terlahir di
era digital range pada tahun 2000 atau yang kita kenal dengan istilah tahun
milineum. Sedang selain itu termasuk imigran digital. Meski pada dasarnya tidak
ada penerjemahan yang baku tentang generasi digital ini. Untuk
pengklasifikasian saja akan kecenderungan generasi masa itu dengan gejala dan
kemiripan serba-serbi elektrik-digital.
Pada dasarnya kita tidak bisa
menyalahkan digitalnya. Karena peran digital dipengaruhi oleh manusia yang
menamfaatkannya. Digital bisa menjadi bermanfaat, namun bisa juga sebaliknya
bermasalah menjadi penyakit masyarakat. Sekali lagi tergantung juga pada pelaku
aktif yang menggunakannya. Semisal digital akan sangat bermanfaat tatkala
digunakan untuk pertukaran informasi yang penting tentang antariksa, astronomi,
sebagai penunjang alat kesehatan, komunikasi bisnis, dan seterusnya. Akan beda
lagi jika digital dimanfaatkan untuk sebatas bergaya, semisal medsos digunakan
untuk update status atau perasaan. Ternyata hanya untuk mendapat komentar
ejiyee, eeaaa. Update photo demi mendapat respon, selamat yaa atau semangat
cint. Kemudian hanya berbangga-bangga dengan gadget baru, bergaya
kesini-kesitu.
Nah itu lah yang membuat
menyempitnya manfaat digital dalam hidup kita. Tatkala hidup hanya untuk
menunggu respon orang lain, mencari perhatian orang lain, pujian orang lain,
menimpali yang seolah-olah mencemooh kita, apalagi agar aktivitas kita dilihat
oleh orang lain. Sehingga terasa hidup kita hanya bergantung kepada orang lain.
Bukankah itu sangat menyiksa kita, membuat tidak berkembang, sulit berkreasi
dan produktif. Ada kutipan dari kak Theo tentang generasi digital yang
diartikan sebagai generasi pamer. Ya jika orientasinya seperti di atas saja, ya
pantas saja jika generasi digital disebut dengan generasi pamer. Mengupdate
setiap aktivitasnya untuk mendapat komentar orang. Padahal hidup bukan untuk
mencari dan membuat komentar. Tulisan kak Theo: Generasi Digital Adalah
Generasi Pamer, juga menenkan bahwa orang-orang “keren” tidak pernah berupaya
dengan keras untuk “berteriak” kepada dunia bahwa ia sudah melakukan
sesuatu. Orang “keren” yang sebenar-benarnya “keren” tidak perlu pamer.
Sedangkan dalam TAKITA dijelaskan
generasi digital memiliki ciri-ciri yakni, pertama Kebebasan, Menolak Terkekang.
Generasi Digital Native hidup dalam kebebasan digital. Dalam kehidupan nyata,
mereka pun cenderung menuntut rentang kebebasan yang lebih. Ketika sekolah dan
rumah dikuasai oleh orang dewasa, generasi digital native memilih berinteraksi
di media sosial sebagai ruang-ruang baru yang mereka kuasai.
Kedua, Bermain, Bukan Hanya Bekerja.
Anak-anak generasi digital native menjalani hidup dengan semangat bermain.
Tidak ada kesulitan, yang ada adalah tantangan yang ingin mereka atasi untuk
menyelesaikan permainan. Dalam bekerja pun, mereka tetap menggunakan logika
bermain sehingga cenderung menolak pekerjaan rutin yang tanpa makna.
Ketiga, Ekspresif, Tidak Hanya
Reseptif. Generasi digital native senang mengekspresikan diri. Dalam dunia
digital, mereka bisa hadir dan diakui sebagai individu. Hampir semua hal
kesukaan diekspresikan melalui media sosial. Mereka enggan melakukan perjumpaan
yang menempatkan mereka hanya sebagai reseptif, menerima mentah-mentah ekspresi
dari generasi sebelumnya.
Keempat, Cepat, Enggan Menunggu. Sebagai
dunia digital yang ukurannya adalah kecepatan, generasi digital native pun
ingin menjalani kehidupan dengan cepat. Ketika ada keadaan yang memaksa mereka
untuk menunggu maka akan beralih pada kegiatan lain seperti mendengarkan musik,
bermain games dan lainnya.
Kelima, Mencari, Bukan Menunggu
Instruksi. Mereka tidak suka diajari. Mereka lebih memilih belajar dengan
mencari sendiri konten di dunia digital. Mereka gunakan mesin pencari. Mereka
cari video tutorial di youtube dan belajar sendiri.
Keenam, Unggah, Bukan Hanya Unduh. Perkembangan
teknologi web 2.0 memungkinkan siapapun buat mengunggah konten. Dampaknya,
generasi digital native bukan hanya mengungguh tapi juga mengunggah konten.
Mereka merasa tidak eksis bila tidak mengunggah konten di internet.
Ketujuh, Interaktif, Bukan Hanya
Komunikasi Searah. Mereka cenderung menolak komunikasi searah dalam bentuk
apapun, offline maupun online. Mereka senang bila bisa mengkustomisasi sebuah
konten sesuai dengan selera mereka.
Kedelapan, Berkolaborasi, Tak Hanya
Berkompetisi. Dunia digital mendorong orang untuk berbagi dan berkolaborasi.
Sebuah karya bisa diciptaulang oleh banyak orang sesuai kreativitas
masing-masing. Begitu pula karakter generasi digital native yang suka
berkontribusi sesuai kemampuan dalam sebuah aktivitas bersama.
Dari pemaparan di atas dapat kita
pahami bersama, era digital tidak bisa kita hindari. Kita tidak bisa lari dari
kenyataan yang terjadi dan yang berkembang di sekitar hidup kita. Yang perlu
kita lakukan adalah bijak dalam menggunakan dan memanfaatkan digital. Sehingga
mampu bersesuaian dan memanfaatkan digital sesuai peran dan fungsinya. Kita
hidup bukan untuk menghidupi digital, namun digital untuk membantu aktivitas
kehidupan kita. Mari lebih bijaksana dalam menggunakan digital-elektronik.
Sumber:
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar