Lihatlah gadis itu, pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Tidak heran, Ali sudah lebih banyak tahu dari keluarga nabi, apalagi Fatimah. Sebab Ali adalah kemenakan Nabi. Walau tidak ada komunikasi pada Fatimah. Ali sudah lama memendam sesuatu yang berharga.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”ya Allah, Engkau mengujiku”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Aku hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.”, gumam ’Ali.
”ya Allah, Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Gumam Ali bersedih.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Ternyata lamaran Abu Bakar ditolak. Ali hampir tidak percaya lamaran seseorang seperti Abu Bakar ditolak Fatimah. Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Ali kembali bingung ketika kabar kembali meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.......
Ali kembali bimbang...
”Mengapa tidak engkau yang mencoba kawan?”, kata sahabat-sahabat Anshor mengugah lamunan Ali.
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”hahaha..” sahabat-sahabat Ali tertawa, Ali semakin malu mendengar suara tawa mereka.
“ Bukankah engkau sudah mengenal baik fatimah, bahkan saat bersama Nabi kau sudah berteman baik dengannya, kenapa kau ragu? Boleh jadi Nabi menunggumu tuk jadi menantunya.” Timpal sahabat-sahabat Ali memotivasi.
Ali kembali tertegun. Dia masih kurang percaya diri. Ali masih berfikiran apa mungkin Rasulullah menerima lamarannya, padahal Abu Bakar dan Umar saja ditolak, padahal mereka adalah orang kaya dan soleh?
Ali masih gelisah. Ia tidak bisa tidur memikirkan dirinya yang begitu kurang pantas. Padahal ia ingin sekali melamar fatimah yang selalu menghias di hatinya. Fatimah, ya fatimah seorang gadis cantik dan luhur budinya. Yang merupakan putri kesayangan Nabi.
“Ya Allah....beri petunjuk kepadaku....ini benar-benar ujian bagiku” dentuman hati Ali melepas tidurnya.
Hari demi hari, berita lamaran-lamaran dari beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah terdengar di Ali. Di sisi lain berita ini menyedihkan perasaan Ali namun dilain sisi juga, Ali seakan semakin yakin dan terpacu keberaniannya. Di malam hari sehabis berdoa kepada Allah, Ali memantapkan hatinya untuk siap lahir batin melamar Fatimah.
Ke esokan harinya, Ali berangkat disertai tepukan bahu sahabat-sahabatnya. Ia melangkah menuju rumah rasulullah. Rasul Allah s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Terasa hati Ali berdebar-debar. Hatinya berbolak-balik seakan ingin melangkah dan sesekali ingin mundur. Kepercayaan dirinya kembali terganggu.
“Bissmillah, ya Allah mudahkan dan kuatkan hatiku” Ali berdoa dalam hati.
Alipun mengetuk pintu. Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yg mengetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Muhammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkanlah saya ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.” Kata kata Ali berhenti. Terasa matanya mulai sembab.
“Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”
“Kalau begitu mana baju besimu itu? kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib.
“Ada ya rasul” jawab Ali seakan tidak percaya
“Tentang pedangmu itu, engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wajalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwayat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Ali begitu gembira, tidak terasa air matanya meleleh karena bahagia. Akhirnya lamarannya di terima. Padahal sebelumnya ia menyangka akan ditolak.
Akhirnya datanglah hari ijab qobul pernikahan. Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham . Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. utk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w. Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur terbuat dari kain kasar Mesir ;
-empat buah bantal kulit buatan Thaif ;
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air utk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai ‘aba-ah ;
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dgn itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu utk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yg disiapkan guna menanti kedatangan isterinya Sitti Fatimah Azzahra r.a. Sang kekasihpun datang. Ya dia adalah Fatimah yang sudah lama dikenal Ali. Kini ia sudah menjadi istrinya. Senyum wajah fatimah mengambarkan bahwa ia ridho dimiliki oleh pemuda sederhana seperti Ali. Padahal fatimah adalah anak dari saudagar wanita terkaya di Mekah yakni Khodijah r.a.
disuatu hari setelah pernikahan, Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut. Wajahnya memerah karena cemburu. dia hanya memandangi wajah istrinya dengan rasa tidak percaya. istri yang dicintainya ternyata mencintai laki-laki lain.
Kemudian dia berkata, “ wahai bidadariku, sungguh aku aku terkejut engkau pernah menyukai seorang pemuda lain. engkau masih suci, aku belum menyentuhmu. jikalau engkau berkehendak, maka aku akan menceraikanmu dan engkau berhak menikah dengan pemuda itu. tapi, sudikah kiranya engkau menjelaskan padaku, mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
menangislah Fatimah, diusapnya air matanya sambil tersenyum bahagia Fathimah berkata, “Ya, pemuda itu, aku sudah lama mengenalnya, dia selalu menemani, mengorbankan nyawanya demi menjaga ayahku. akhlaqnyalah yang menarik hatiku untuk menerima cintanya, tahukah dirimu bahwa pemuda itu adalah dia yang ada di depanku”
Alipun mencubit pipi Fatimah. dipelukkanya fatimah rapat-rapat. Hatinya mulai berbunga-bunga. hati yang cemburuh laksana gunung yang runtuh kini telah tenang kembali.
Selama satu bulan sesudah pernikahan Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.
Setelah itu Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a. para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w. tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam yg senantiasa sanggup berkorban seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yg murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya terhadap ayahandanya Nabi Muhammad s.a.w. Dua sejoli suami isteri yg mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dgn kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dgn tangan sendiri. Ia membuat roti menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yg tidak ditangani dgn tenaga sendiri. Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yg melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yg dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: “Fatimah terimalah kepahitan dunia utk memperoleh keni’matan di akhirat kelak” Riwayat lain mengatakan bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a. tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara kalian berdua yg akan kugantikan?” “Fatimah! ” Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yg menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah yg akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan puteranya yg masih bayi diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya “Manakah yg lbh baik aku menolong anakmu itu ataukah aku saja yg menggiling tepung”. Ia menyahut: “Aku kasihan kepada anakku”. Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gandum. Itulah yg membuatku datang terlambat!”
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: “Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”
“Ya Allah, semoga Allah memberkati keduanya, keluarganya dan keturunannya”
" cintalah yang merubah kesedihan menjadi kebahagiaan,dan hanya cintalah suatu hal yang tidak bisa diukur dengan harta dan kekayaan" (Puput Wahyudi Z.P)
Disadur dari Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam Jl. Blora 29 Jakarta Oktober 1981
Dengan beberapa editan dan penambahan seperlunya.
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”hahaha..” sahabat-sahabat Ali tertawa, Ali semakin malu mendengar suara tawa mereka.
“ Bukankah engkau sudah mengenal baik fatimah, bahkan saat bersama Nabi kau sudah berteman baik dengannya, kenapa kau ragu? Boleh jadi Nabi menunggumu tuk jadi menantunya.” Timpal sahabat-sahabat Ali memotivasi.
Ali kembali tertegun. Dia masih kurang percaya diri. Ali masih berfikiran apa mungkin Rasulullah menerima lamarannya, padahal Abu Bakar dan Umar saja ditolak, padahal mereka adalah orang kaya dan soleh?
Ali masih gelisah. Ia tidak bisa tidur memikirkan dirinya yang begitu kurang pantas. Padahal ia ingin sekali melamar fatimah yang selalu menghias di hatinya. Fatimah, ya fatimah seorang gadis cantik dan luhur budinya. Yang merupakan putri kesayangan Nabi.
“Ya Allah....beri petunjuk kepadaku....ini benar-benar ujian bagiku” dentuman hati Ali melepas tidurnya.
Hari demi hari, berita lamaran-lamaran dari beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah terdengar di Ali. Di sisi lain berita ini menyedihkan perasaan Ali namun dilain sisi juga, Ali seakan semakin yakin dan terpacu keberaniannya. Di malam hari sehabis berdoa kepada Allah, Ali memantapkan hatinya untuk siap lahir batin melamar Fatimah.
Ke esokan harinya, Ali berangkat disertai tepukan bahu sahabat-sahabatnya. Ia melangkah menuju rumah rasulullah. Rasul Allah s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Terasa hati Ali berdebar-debar. Hatinya berbolak-balik seakan ingin melangkah dan sesekali ingin mundur. Kepercayaan dirinya kembali terganggu.
“Bissmillah, ya Allah mudahkan dan kuatkan hatiku” Ali berdoa dalam hati.
Alipun mengetuk pintu. Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yg mengetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Muhammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkanlah saya ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.” Kata kata Ali berhenti. Terasa matanya mulai sembab.
“Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”
“Kalau begitu mana baju besimu itu? kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib.
“Ada ya rasul” jawab Ali seakan tidak percaya
“Tentang pedangmu itu, engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wajalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwayat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Ali begitu gembira, tidak terasa air matanya meleleh karena bahagia. Akhirnya lamarannya di terima. Padahal sebelumnya ia menyangka akan ditolak.
Akhirnya datanglah hari ijab qobul pernikahan. Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham . Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. utk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w. Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur terbuat dari kain kasar Mesir ;
-empat buah bantal kulit buatan Thaif ;
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air utk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai ‘aba-ah ;
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dgn itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu utk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yg disiapkan guna menanti kedatangan isterinya Sitti Fatimah Azzahra r.a. Sang kekasihpun datang. Ya dia adalah Fatimah yang sudah lama dikenal Ali. Kini ia sudah menjadi istrinya. Senyum wajah fatimah mengambarkan bahwa ia ridho dimiliki oleh pemuda sederhana seperti Ali. Padahal fatimah adalah anak dari saudagar wanita terkaya di Mekah yakni Khodijah r.a.
disuatu hari setelah pernikahan, Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut. Wajahnya memerah karena cemburu. dia hanya memandangi wajah istrinya dengan rasa tidak percaya. istri yang dicintainya ternyata mencintai laki-laki lain.
Kemudian dia berkata, “ wahai bidadariku, sungguh aku aku terkejut engkau pernah menyukai seorang pemuda lain. engkau masih suci, aku belum menyentuhmu. jikalau engkau berkehendak, maka aku akan menceraikanmu dan engkau berhak menikah dengan pemuda itu. tapi, sudikah kiranya engkau menjelaskan padaku, mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
menangislah Fatimah, diusapnya air matanya sambil tersenyum bahagia Fathimah berkata, “Ya, pemuda itu, aku sudah lama mengenalnya, dia selalu menemani, mengorbankan nyawanya demi menjaga ayahku. akhlaqnyalah yang menarik hatiku untuk menerima cintanya, tahukah dirimu bahwa pemuda itu adalah dia yang ada di depanku”
Alipun mencubit pipi Fatimah. dipelukkanya fatimah rapat-rapat. Hatinya mulai berbunga-bunga. hati yang cemburuh laksana gunung yang runtuh kini telah tenang kembali.
Selama satu bulan sesudah pernikahan Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.
Setelah itu Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a. para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w. tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam yg senantiasa sanggup berkorban seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yg murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya terhadap ayahandanya Nabi Muhammad s.a.w. Dua sejoli suami isteri yg mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dgn kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dgn tangan sendiri. Ia membuat roti menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yg tidak ditangani dgn tenaga sendiri. Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yg melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yg dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: “Fatimah terimalah kepahitan dunia utk memperoleh keni’matan di akhirat kelak” Riwayat lain mengatakan bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a. tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara kalian berdua yg akan kugantikan?” “Fatimah! ” Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yg menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah yg akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan puteranya yg masih bayi diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya “Manakah yg lbh baik aku menolong anakmu itu ataukah aku saja yg menggiling tepung”. Ia menyahut: “Aku kasihan kepada anakku”. Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gandum. Itulah yg membuatku datang terlambat!”
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: “Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”
“Ya Allah, semoga Allah memberkati keduanya, keluarganya dan keturunannya”
" cintalah yang merubah kesedihan menjadi kebahagiaan,dan hanya cintalah suatu hal yang tidak bisa diukur dengan harta dan kekayaan" (Puput Wahyudi Z.P)
Disadur dari Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam Jl. Blora 29 Jakarta Oktober 1981
Dengan beberapa editan dan penambahan seperlunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar