Kamis, 10 Oktober 2019

Di Bawah Lindungan Ka'bah

Setiap tulisan memiliki gaya dan semangat yang berbeda-beda. Bagi saya, goresan pena Buya Hamka memiliki makna yang mendalam. Kali ini saya akan mencoba mereview buku beliau  yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Diawali dengan perjumpaan penulis dengan seorang pemuda 23 tahun dari Sumatra yang telah mukim  di Mekkah pada tahun 1927. Pemuda itu bernama Hamid dengan perangai pendiam, suka bermenung seorang diri, dan memiliki sifat saleh. Agaknya itu yang membuat semakin tersemat rasa hormat, setelah bergaul selama dua bulan mulailah didapati berkawan dengan baik. Tiba masa tanpa sengaja Hamid bertemu sahabat lamanya saat di Padang dahulu yang bernama Saleh. Entah apa kiranya yang terjadi, selepas pertemuan dengan sahabat dari kampungnya itu Hamid nampak berubah keadaan dan sifatnya. Semakin seringlah ia membaca kitab-kitab,terkadang termenung seorang diri di atas atap rumah, seakan-akan tidak memperdulikan di sekitarnya. Sebagai sahabat merasa ibalah, kutanyai ada apa gerangan saudara banyak perubahan tidak seperti biasa? Jikalau saudara hendak berbagi keluh kesah akan saya kunci pintu erat-erat tidak meyiakan kepercayaan saudara. Kemudian berceritalah Hamid sebab-sebab kesedihan hatinya, dengan berpesan jika masih hidup meminta untuk menyimpan rahasia. Namun jika ia mendahului diizinkan untuk menyusun hikayat baik-baik dengan mengharap rahmat Allah.
Hamid mulai bercerita saat ia masih kecil berusia empat tahun ayahnya telah wafat. Menjadi yatim dalam kondisi melarat tinggal di gubug. Sepeninggal ayahnya, ibu memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal. Ayah ibunya pindah ke kota Padang setelah perniagaannya jatuh dan tak bersanak famili. Dikisahkan ibunya kebaikan ayah semasa beliau hidup dan cita-cita agar anaknya kelak menjadi seorang terpelajar. Hamid kecil hendak membantu ekonomisang ibu dengan menjajakan kue-kue dari lorong ke lorong. Terkadang ibunya menyuruh untuk bermain, tetapi hati Hamid tiada dapat gembira. Karena menurut Hamid kegembiraan bukanlah saduran dari luar, tetapi terbawa oleh sebab-sebab yang boleh mendatangkan gembira itu.
Setelah memasuki usia enam tahun, kemudian dilaluinya setahun kemudian dengan sabar. Hamid akhirnya dapat bersekolah dengan bantuan haji Ja’far dan mak Asiah. Didaftarkan Hamid beserta anak perempuanya yang bernama Zainab ke sekolah. Mak Asiah menjadi sahabat ibu, Zainab seperti menjadi adik kandung sendiri. Belajar, bermain, bepergian bersama-sama. Dari bangku sekolah rendah (HIS= Hollands Inlandsche School) sampai menduduki MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Setelah tamat terpisahlah,anak perempuan terbatas hingga MULO . Hamid melanjutkan belajar ke Padang Panjang, setelah lulus bergelar diploma. Saat musim pakansi tiba, Hamid hendak berkunjung ke rumah Engku Ja’far dan ingin bercerita banyak hal kepada Zainab. Namun ia rasakan ada perasaan yang ganjil, sehingga tak mampu bercerita.
Beberapa lama kemudian, tidak disangka-sangka Haji Ja’far yang dermawan itu meninggal. Belum lama kemudian ibu Hamid sakit dengan penyakit dada yang semakin melemahkannya. Disaat detik-detik sebelum kepergiannya, beliau memberi nasihat agar lebih bijak dalam hal mengolah rasa. Tuhan yang telah menanamkan rasa dan Dia pula yang berkuasa mencabutnya. Kerap kali angan-angan atau suatu khayal mempengaruhi anak muda-muda, terkdang dapat hilang pergantian siang atau pertukaran malam. Semoga Allah memberi anugerah dan perlindungan. Tak lama kemudian sang ibu meninggal, tinggalah Hamid sebatang kara.
Semenjak kepergian Haji Ja’far dan ibunya, Hamid tak berkunjung ke rumah mak Asiah. Saat bertemu mak, Hamid diminta untuk datang ke rumah. Datanglah Hamid disambut Zainab dengan wajah memerah mempersilahkan, kemudian mak Asiah bertemu dan meminta tolong untuk membujuk Zainab agar mau dipertalikan dengan kemenakannya. Zainab pun belum berkenan.
Hamid melakukan perjalan jauh dari kota Padang, ke Medan, menuju Singapura, mengembara ke Bangkok, berlayar terus ke Hindustan, dari Karachi menuju Basrah, menuju ke Irak, melalui Sahara Nejd dan akhirnya sampailah ke tanah Suci yang senantiasa diimpikan oleh setiap muslim. Setelah setahun tiba masa haji dan bertemu Saleh yang beristrikan Rosna sahabat karib Zaenab. Kegundahannya bermula saat diceritakan perihal Zainab yang diam-diam menaruh rasa kagum akan budi pekerti yang tinggi kepada Hamid. Zainab merasa kehilangan setelah kepergiannya. Hamid pun berseri-seri, merasai ada harganya buat hidup sebab ada orang yang mengharapkannya.
Delapan Zulhijjah persiapan wukuf di Arafah, Hamid merasakan badannya sakit-sakit dan semakin lemah. Tak lama kemudian datanglah kabar Zainab wafat. Disusul meninggalnya Hamid dan dikuburkan di pekuburan Ma’ala.
 Allah Maha Adil. Jika sempit di dunia ini bagimu berdua, maka alam akhirat adalah lebih luas dan lapang. Di sanalah kelak makluk menerima balasan dari kejujuran dan kesabarannya. Di sanalah penghidupan yang sebenarnya, bukan mimpi dan bukan tonil. Kami pun dalam menunggu titah pula, sebab ada masanya datang dan ada pula masanya pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar