Kamis, 12 Januari 2012

Kolom Inpirasi

::. Dapat NOTIF dari teman

inpirasi murabbiku dikediri...Istriku, mengarungi bahtera rumah tangga yang indah dan penuh barakah bersamamu, membuatku ingin mengenang saat-saat menyenangkan puluhan tahun silam. Saat kita di kota Bogor menuntut ilmu. Saat aku jatuh hati kepadamu. Aku tahu, kau masih menyimpan surat cintaku, yang kutulis dengan penuh perasaan, usai shalat hajat, di ujung senyap malam. Surat yang sangat sederhana, namun sarat makna:



“Bismillaah

aku mengkhitbah

shalat istikharahlah

Faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallaah..”



Dan aku memberitahu ibunda untuk memohon doanya. Doa seorang ibu kepada anaknya amatlah mustajabah. Takada hijab dengan Tuhannya. Apalagi ibunda menginginkan aku menikah dengan gadis sekota. Dan aku menaatinya. Kau pasti tahu, ketaatan anak laki -sebelum atau sesudah menikah, adalah kepada ibunya.



Setelah 3 bulan menunggu, kau menjawabnya. Tepat 5 hari usai hari raya Idhul Adha, sepulangku dari Samarinda. Surat jawaban yang juga amat sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dari yang kuduga:



“Aku bersedia dikhitbah..”



Akhirnya kita menikah dengan sederhana. Disaksikan keluarga dan tetangga dekat. Ada yang tidak biasa. Kita tidak membuat surat undangan seperti kebanyakan orang. Namun cukup membuat surat pemberitahuan bahwa diantara kita telah terikat tali pernikahan suci. Aneh memang. Dan kita menikmati keanehan itu.



Istriku, 5 tahun usia perkawinan, kita dianugerahi 3 anak yang shalih shaliha. Lahir di 3 kota yang berbeda: Rembang, Surabaya dan Ponorogo. Kau memang ruarr biasa. Saat melahirkan Calon Profesor, anak pertama, aku sedang pendidikan di Pusdik Kehutanan Cepu. Aku tidak bisa menungguimu. Kau biasa saja. Tetap ceria. Saat melahirkan Calon Direktur, anak ke-2, aku sedang gila kerja, hingga meninggalkanmu sendirian di RSU Pacar Keling, Surabaya. Kau tidak kecewa. Tetap gembira. Maka ketika kau hamil Calon Psikolog, aku berjanji kepada diriku sendiri, akan membersamaimu saat melahirkan anak ke-3. Kau tentu ingat, saat mengantarkanmu ke Klinik Bersalin di kota Ponorogo, 12 km jaraknya, kita naik motor Suzuki, jam 23.00 malam! Namun kau tetap biasa saja. Tetap suka cita.



Istriku, kau inspirasiku. Ini adalah puisiku ketika kita di Ponorogo. Aku bersyukur melihatmu selalu penuh syukur. Syukurmu menginspirasiku:



Kita memang kaya, Di

punya motor Suzuki

belanja ke Pasar Legi

tiap pagi

tak harus jalan kaki



Kita memang kaya, Di

punya meja kursi

lihatlah mbah Radi

takada dingklik walau sebiji

hingga tamu pun harus berdiri



Kita memang kaya, Di

punya ranjang besi

Yu Siti tak punya dipan

bed apalagi

usai tidur

selalu ada tikar membekas di pipi



Kita memang kaya, Di

punya Ilman, Bila dan Haqi

kasihan pakde Budi

belasan tahun menikah

tak juga dianugerahi



maka,

ingatlah selalu

wasiat Nabi:

"Wahai bestari,

tentang duniawi

lihatlah selalu

ke bawah sisi

niscaya kau akan mengerti"



Ya, kita memang kaya, Di

sejak bisa syukuri

nikmat Ilahi Rabbi..



Istriku, sungguh aku amat berterima kasih kepadamu. Berterima kasih atas segala pengorbananmu. Di Ngawi, kau menabungkan hampir semua uang gaji, sisa uang SPPD, honor mengajar, hasil penjualan madu, benih dan bibit Jati, dan lainnya, untuk tabungan hajiku. Agar aku bisa menemani ibunda. Maka ketika aku berhaji, aku berdoa di Tanah Haram, di Masjidil Haram, di depan Multazam di Baitullah, di hari Jumat, diantara 2 khutbah, kepada Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa. Aku berdoa di tempat yang mulia, di waktu yang mulia, dengan cara yang mulia, dan kepada Yang Maha Mulia. Agar kita bisa berziarah di Makkah al-Mukarramah, setiap tahun. Ya, setiap tahun. Aku memohon bisa membawamu menghadap-Nya. Sungguh, aku amat bersyukur bisa mengajakmu ziarah 1 tahun kemudian:



Tuhanku,

kubawa istriku kepada-Mu

berkahilah ia

seperti Engkau

telah memberkahiku..



Kita umrah ber-2 ketika tinggal di Banyuwangi. Dan akan selalu ber-2. Dan, insya Allah, akan selalu tiap tahun. Istriku, tahukah kau, dimana kubuat kidung cinta ini? Benar! Aku membuatnya waktu kita berhaji bersama, 2 hari usai Thawaf Ifadhah, tanggal 15 Dzulhijjah, pas bulan purnama. Waktu itu kita sudah pindah di Pati menjelang aku ikut macung bupati:



Di Multazam

kudengar cerita

semilir angin Masjidil Haram:

istriku

suka

bersuamikan aku



Oo, purnama Makkah

katakan kepadanya:

aku

cinta

dia..



Istriku, sungguh aku beruntung mempunyai istri sepertimu. Cantik, pintar, shaliha dan gemar bederma. Kau mudah terinspirasi, aku juga. Kau mudah tersentuh, aku juga. Kau berani bermimpi dan berdoa, aku juga. Kita 1 frekuensi, 1 chemistry, 1 hati. Hingga kita bisa terharu bersama, setiap Jumat siang, saat teringat pasangan muda itu di Mal Sri Ratu Kediri kota. "Sajak Jumat Siang" ini kubuat karena terinspirasi mereka:



Seorang pemuda necis

tampilan eksekutif perusahaan establis

bergandeng riang

bersama istri tersayang

mengarak belasan anak yatim

di restoran ternama

dibiarkannya mereka pesan apa saja

mereka lahap hidangan lezat itu

tanpa ba bi bu



lalu,

diajaknya anak-anak itu

masuk supermarket waralaba:

“Anakku sayang,

ambillah apapun yang kau suka

susu, buku atau gula-gula..”

mereka ceria

serasa anak orang kaya

usai acara

diantarnya mereka ke rumahnya

satu satu

istrinya selipkan amplop putih

di saku baju

satu-satu

sungguh,

tak pernah kulihat wajah anak segembira itu



Tuhanku,

gembirakanlah dia selalu

sebagaimana dia telah menggembirakan

anak-anak yatim-Mu

dan,

anugerahkanlah kepadaku

kemudahan untuk meniru

kebaikan itu..



Istriku, 20 tahun sudah kita menikah. Tuhan sungguh Maha Pemurah, berkenan memberi anugerah indah. Keluarga barakah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Berhiaskan anak yang shalih dan shaliha.



Istriku, di hari ulang tahun perkawinan kita ini, aku ingin memohon maaf kepadamu. Aku hanya bisa menjadikanmu wanita yang ke-3 dalam hidupku. Aku tidak bisa menjadikanmu sebagai wanita yang ke-2, apalagi yang pertama. Wanita pertama sudah menjadi jatah ibunda, dan wanita ke-2 ada sejak kelahiran anak kita yang shaliha. Namun, aku berjanji kepadamu, tak akan menjadikanmu wanita ke-4, apalagi ke-5. Tidak akan pernah.



Istriku, kekasih hatiku. Aminkan puisiku. Aminkan kidungku. Aminkan doaku. Agar aku bisa hidup sukses dan mulia di dunia. Dan mati masuk syurga. Kau juga:



Tuhanku,

puluhan tahun lalu

aku berdoa kepada-Mu:

berilah aku istri yang shaliha

yang bisa membantuku masuk syurga

sungguh,

syukurku tak berhingga kepada-Mu

hari ini,

20 tahun sudah Engkau memberikan karunia

seorang istri yang cantik dan shaliha

yang sudah memberiku syurga dunia

dan aku tak akan pernah lupa

untuk tetap memohon syurga akhirat-Mu senantiasa.. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar